Selasa, 14 Mei 2013

Sebuah puisi dari seorang demonstran

MANDALAWANGI – PANGRANGO
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan
guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti
Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda
tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah
dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang
membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2
jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian

“Disana, di Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia
Presiden tengah bersenda gurau dengan isteri-
isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si
miskin yang tengah makan kulit mangga. Aku
besertamu orang-orang malang…” – Soe Hok Gie

SEBUAH TANYA
“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih,
lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang
menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota
kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau
dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika
malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap
jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi
muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam
bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi
itu)
“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”
Selasa, 1 April 1969

Tidak ada komentar:

Posting Komentar