Selasa, 14 Mei 2013

Ketika para ayam mati mengenaskan di lumbung padi

Kemiskinan membingkai keindahan alam Raja
Ampat. Primadona wisata di Indonesia Timur itu baru menjadi
surga bagi turis, tapi belum bagi banyak warganya. Turisme
bahkan menghadirkan masalah baru, yaitu penjarahan makam
kuno leluhur mereka.
Kemiskinan Desa Wawiyai di Teluk Kabui, Raja Ampat, memantul
di air lautnya yang tenang dan bening. Gubuk-gubuk panggung
dari papan seadanya berdesakan memanjang di sekitar dermaga.
"Kitorang trada rasa hidup di surga," kata Ananias Marindal,
salah satu warga tertua di Wawiyai, Kamis (14/3/2013),
memberi gambaran kehidupan sehari-hari di desa itu.
Kemiskinan warga Wawiyai yang seluruhnya berjumlah sekitar
200 orang, terlihat dari kehidupan sehari-hari di desa itu. Tak
ada barang mewah di sana. Televisi pun belum dimiliki seluruh
warga.
Ananias dulunya nelayan. Kini, seperti banyak warga Wawiyai
lain, ia lebih banyak berburu burung kakatua putih berjambul
kuning (Cacatua alba) yang dalam bahasa setempat disebut
yakob. Yakob hidup dijual pada pengepul dari Waisai, ibu kota
Kabupaten Raja Ampat. Seekor burung dihargai Rp 150.000.
Ananias mengaku, menangkap rata-rata lima kakatua setiap
bulan. Ia berburu dengan dua yakob peliharaannya. Dua yakob
itu bertugas sebagai umpan untuk menarik kakatua liar. Dua
satwa itu tentu bisa bicara bahasa burung. "Kalau teman dia
sudah datang, torang jerat memakai tali," kata Ananias,
menerangkan caranya berburu.
Pekerjaan memburu kakatua menjadi pilihan, karena lebih
menguntungkan dan lebih mudah daripada melaut. Apalagi, solar
yang menjadi bahan bakar melaut sulit diperoleh di Wawiyai.
Meski begitu, Ananias belum sejahtera. Uang yang ia peroleh
habis hanya untuk makan sehari-hari.
Dalam usianya yang begitu renta, sekitar 75-an tahun, Ananias
masih harus menghidupi 10 orang terdiri atas anak, menantu,
dan cucunya. Mereka tinggal di rumah papan yang nyaris tanpa
perabotan. Satu set meja kursi terlihat begitu lusuh dan tua.
Kemiskinan di Desa Wawiyai itu begitu kontras dengan
kemewahan perahu-perahu pesiar yang kerap bersandar di batas
luar Teluk Kabui. Di perahu-perahu itu, listrik menyala terang-
benderang 24 jam. Sementara di Wawiyai, listrik yang ditenagai
genset dan sel surya hanya menyala beberapa jam dalam sehari.
Perahu-perahu bak hotel bintang lima yang umumnya dimiliki
orang asing itu, juga berkelimpahan dengan bahan bakar minyak
yang saat ini begitu sulit diperoleh di Wawiyai.
Wawiyai tersembunyi di balik barisan puluhan bukit kapur (karst)
yang mencuat dari lautan Teluk Kabui. Barisan tebing raksasa
itu tak hanya membentengi desa kecil itu dari ombak lautan
lepas, tapi juga memberi pemandangan menakjubkan lengkap
dengan gua-gua lautnya. Karena keeksotisan alamnya, Teluk
Kabui menjadi salah satu tujuan wisata di Raja Ampat. Namun,
turisme belum menghadirkan kesejahteraan di Wawiyai. Sebagian
besar pelancong hanya melintas dan jarang mampir. Hal ini bisa
dipahami karena di Wawiyai tak ada fasilitas wisata yang dapat
menarik turis.
Penjarahan makam kuno
Tak hanya itu, warga Wawiyai juga mengeluh pencurian makam
kuno sejak terbukanya pariwisata ke Teluk Kabui. Salah satu
dari tiga kepala adat di Wawiyai, Gerson Marindal,
memperkirakan ratusan barang hilang dari makam kuno mereka.
Barang-barang yang hilang meliputi tengkorak dan bekal kubur
berupa patung kayu dan piring keramik. "Torang trada tahu
pasti berapa jumlah hilang. Dulu banyak tengkorak di sana,
sekarang tertinggal satu dua," kata lelaki sekitar 70-an tahun
itu, kepada rombongan wartawan yang datang ke Raja Ampat
bersama PT Pelindo II atau International Port Corporation.
Pemakaman tanpa dikubur merupakan tradisi masa lalu banyak
desa yang dihuni suku asli di Raja Ampat. Jenazah diletakkan di
ceruk-ceruk tebing kapur di perairan sekitar desa. Meskipun
tak lagi dilakukan, warga masih menganggap sakral makam-
makam kuno itu dan membersihkannya secara rutin pada hari-
hari tertentu.
Kehilangan itu pernah diadukan ke pemerintah setempat, tetapi
tak ada tanggapan memuaskan. Permintaan bantuan untuk
membangun pos penjagaan atau kapal cepat (speedboat) untuk
patroli pun tak dipenuhi. Alasan yang diterima adalah desa
mereka tak termasuk kawasan wisata.
Padahal, pada bulan Desember-Agustus, setidaknya dua kapal
cepat yang mengangkut turis masuk ke wilayah adat perairan
mereka. Speedboat mereka butuhkan karena selama ini perahu-
perahu nelayan mereka yang bermesin 15 dan 40 PK tak mampu
mengejar speedboat para turis.
Tokoh pemuda Raja Ampat, Abraham Goran Gaman (43),
mengatakan, penjarahan makam kuno terjadi sejumlah desa di
Raja Ampat di Misole, Teluk Maya Libit, dan Teluk Kabui.
Diperkirakan terdapat 10 makam kuno di Raja Ampat berusia
sekitar 300 tahun.
Hal ini sangat merugikan warga Raja Ampat. Tak hanya
kehilangan akar budaya, penjarahan makam kuno juga
mengurangi daya tarik wisatawan yang berdampak pada
kerugian ekonomi. "Sejak makam kuno di Aikor di Teluk Maya
Libit, kunjungan turis ke sana turun drastis," katanya.
Tak hanya penjarahan. Warga juga kesal karena banyak turis tak
mengindahkan batas-batas adat desa. Sebagian besar dari
mereka masuk ke perairan adat Wawiyai tanpa izin. Padahal,
beberapa tempat dianggap sakral dan butuh tata perilaku
tertentu saat memasukinya.
Batas adat ini disepakati secara turun-temurun bersama desa-
desa tetangga. Kawasan adat Wawiyai meliputi Teluk Kabui itu
meliputi pantai di desa hingga sekitar 4,5 kilometer dari
permukiman warga. Di darat, kawasan adat Wawiyai termasuk
hutan di sekitar desa yang dibelah sungai air tawar.
Tersisih
Para pelaku wisata di Raja Ampat sebagian besar adalah orang
asing, seperti pemilik hotel dan pengelola jasa penyelaman.
Merasa tersisih dari gemerlap wisata di "rumah" mereka sendiri,
warga Wawiyai yang pada dasarnya ramah dan terbuka menjadi
waspada pada tiap turis yang masuk ke wilayahnya.
Warga juga berusaha memungut kontribusi dengan cara mereka
sendiri. Cara yang bagi sebagian orang dinilai tak
menyenangkan. "Kami kejar turis, lalu kami mintai uang. Kalau
tak diberi, kami tahan kapalnya," kata Pieter Feey (17), salah
satu warga Wawiyai.
Seperti yang kami alami sendiri. Warga meminta solar 20 liter
dan uang Rp 1,5 juta yang akhirnya berhasil ditawar Rp
500.000.
Pungutan itu untuk mengambil foto situs sakral Telor Raja yang
merupakan asal leluhur mereka. Lokasi situs berada di tengah
hutan bakau yang terpencil. Ketegangan sempat muncul. Jika
permintaan ini ditolak, rombongan wartawan terancam sulit
keluar dari lokasi tanpa pemandu melalui sungai yang beralur
berbahaya dan dihuni buaya muara.
Wawiyai hanyalah contoh kemiskinan di Raja Ampat. Abraham
mengatakan, masih banyak warga di surga wisata itu yang jauh
dari sejahtera. "Kawasan ini memang disebut surga untuk para
turis, tapi sudahkah masyarakatnya hidup di surga?" ujarnya.
Padahal, kata Abraham, pariwisata Raja Ampat memberi
pemasukan besar bagi Pemerintahan Kabupaten Raja Ampat.
Sekitar Rp 3 miliar - Rp 4 miliar setahun dari pungutan masuk
Raja Ampat saja, yaitu Rp 250.000 bagi wisatawan domestik dan
Rp 500.000 bagi turis asing. Sebanyak 50 persen dana
dialokasikan untuk program kemasyarakatan.
Namun, menurut Abraham, sejauh ini hasilnya belum terasa
nyata. "Mekanisme penyaluran dana masih perlu dirumuskan lagi,
agar masyarakat Raja Ampat juga merasakan surganya sendiri,"
katanya.
Salah satu yang sangat diperlukan adalah pelatihan dan bantuan
modal agar masyarakat Raja Ampat tak tersisih dari pariwasata
di daerahnya. Warga bisa didorong membuat homestay atau
membuat kerajinan untuk cendera mata. Dengan begitu, diharap
Raja Ampat benar-benar menjadi surga bagi turis dan warganya
sendiri. Kecuali jika kemiskinan memang sengaja dipelihara
sebagai bagian dari eksotisme wisata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar