Selasa, 27 Mei 2014

Diantara keindahan itu....

Bali.
Nama yang begitu pendek untuk sebuah pulau yang punya begitu panjang runutan masalah. Sejak
tumbangnya Soekarno dan masuknya penanaman modal asing (PMA) oleh Soeharto lewat Keppres
pertamanya sejak diangkat menjadi Presiden, pulau Bali sudah didesain sedemikian rupa untuk
menjadi sapi perah pusat. 1965 saat Bali masih memiliki basis kuat di pertanian, secara umum
petaninya lebih condong berkiblat pada PKI yang getol memperjuangkan Undang Undang Landreform.
Setelah PKI ditumpas dan masuknya PMA, makin matilah pertanian di Bali. Arah pembangunan
kemudian dibelokkan ke industri pariwisata. Para petani tidak lagi berani mengungkap UU Landreform
karena takut dituduh PKI. Para intelektual progresif Bali yang berpotensi menggagalkan agenda
pusat dengan mudah dicap 'komunis' lalu atas restu dan dukungan penguasa, mereka beramai-ramai
dihabisi. Jenazah-jenazah mereka dikuburkan secara massal di beberapa tempat yang diatasnya kini
berdiri sombong hotel-hotel mewah berbintang. Yup. Secara literal, industri pariwisata di Bali
memang dibangun di atas darah orang tak berdosa.
Karakter orang Bali yang kebanyakan polos, ramah dan toleran makin memudahkan laju penguasa
memeras potensi dan kekayaan Bali. Nama Bali selalu laku 'dijual' khususnya di Bali Selatan (Nusa
Dua, Jimbaran, Kuta, Seminyak, Canggu). Sedikit-sedikit bikin konferensi di Bali. Alasannya selalu
"memperkenalkanBali di mata dunia". OK. Di awal era industri turisme dan Bali belum begitu
terkenal seperti saat ini, jargon tersebut mungkin masih relevan. Tapi kini, atau setidaknya 10 tahun
terakhir, ketika popularitas Bali sudah melebihi popularitas Indonesia, jargon tersebut masihkah
relevan? Well, bagi penguasa dan pemodal, tentu saja jargon tersebut tak pernah punya masa
kadaluwarsa. Selama masih bisa dijual, kenapa tidak?
Miss World digelar di Bali, para kontestan diuji 'kecerdasannya' tapi tak satupun dari mereka sadar
jika pulau yang mereka singgahi ini alam dan budayanya sedang dilacurkan oleh penguasanya.
Perhelatan akbar bertaraf internasional digelar, mengundang ratusan CEO dan Presiden dari seluruh
dunia ke Bali, apa yang Bali dapat? Cuma satu: Macet. Tapi tidak apa-apa, yang penting proyek
lancar, toh penguasa dan pemodal tersebut tidak tinggal di Bali. Peduli apa mereka sama macetnya
Bali?
Makin berbondong-bondonglah investor menanamkan modal-nya di Bali. Tak ketinggalan para
koruptor pun ikut-ikutan investasi di Bali. Peduli setan akan ketimpangan pembangunan diBali. Peduli
setan akan makin terpinggirkannya masyarakat lokal di tanahnya sendiri. Bali hanyalah angka-angka
di mata para penguasa dan pemodal rakus, dan kami penduduk lokal, adalah penonton yang baik.
Tanpa dibekali pendidikan yang memadai, kami dipaksa bersaing dengan tenaga kerja asing/luar Bali
yang lebih terlatih. Akhirnya, diiming-imingi pekerjaan sebagai sekuriti, pelayan dan tukang kebun
saja kami sudah senang. Relakan jabatan yang lebih terhormat menjadi milik tenaga kerja asing atau
luar Bali. Kami, lokal, puas menjadi penonton saja.
Tapi cukup adalah cukup. Ketika ketidakadilan semakin merajalela, perlawanan pun perlahan tumbuh.
Sedikit demi sedikit semangat perlawanan itu mengeras dan akhirnya menemukan 'lawan' nya, yaitu
mega-proyek Reklamasi Teluk Benoa seluas 838 Hektar yang merupakan proyek milik investor besar
Jakarta yang didukung oleh beberapa penguasa pusat maupun daerah. Di pulau bikinan tersebut
rencananya akan dibangun sirkuit F1, lapangan golf, wahana sekelas Disneyland dan lain-lain. Bali
Selatan (yang sudah sumpek) dipastikan akan bertambah sumpek dan masyarakat lokal akan makin
termarjinalkan secara sosial-ekonomi setelah adanya pulau baru tersebut. Kami yang gelisah akan
penjajahan berkedok pembangunan dan pariwisata ini membentuk sebuah gerakan kolektif non-
political bernama ForBALI (Forum RakyatBali Tolak Reklamasi) yang terdiri dari aktivis, seniman,
musisi, blogger, penulis, mahasiswa, pengacara, guru yoga hingga penggiat pariwisata. ForBALI tidak
didominasi orang Hindu saja, semua agama ada di kolektif ini. Di mata kami, orang-orang yang
percaya akan sebuah perjuangan untuk keadilan, proyek reklamasi ini bukanlah sekedar proyek, tapi
merupakan simbol 'penjajahan dan pembodohan' yang harus dihentikan. Kami tidak anti dengan yang
namanya pembangunan, tapi ketika pembangunan tersebut hanya didasari hitung-hitungan bisnis
semata tanpa memihak pada keseimbangan ekologi dan kepentingan jangka panjang orang banyak, hal
tersebut tidak boleh dibiarkan. Ini rumah kami. Masa depan rumah kami, kami yang tentukan.
Perlawanan pun kami kobarkan. Kami aktif menggelar beberapa demonstrasi, konser dan diskusi publik
bertemakan Bali Tolak Reklamasi. Kami juga membuat merchandise, menciptakan lagu mars serta
video klip Bali Tolak Reklamasi. Perlawanan kami berbuah manis. Movement kami mendapat banyak
simpati dan dukungan, terutama dari kaum muda. Bukan hanya di Bali tapi juga dari luar Bali hingga
luar negeri. Seniman-seniman berkualitas seperti bang Iwan Fals, Sawung Jabo, Glenn Fredly,
Seringai, Happy Salma, Kirana Larasati, Djenar Maesa Ayu, Kartika Jahja dan lain-lain ikhlas
memberi dukungan tanpa diiming-imingi bayaran atau hal-hal semacam itu. Bahkan anak-anak kecil
di gang-gang perumahan sempit di Bali sering kami temui menyanyikan mars Bali Tolak Reklamasi.
Benar-benar perjuangan yang menyentuh grass-roots .
Semangat perlawanan kami makin menjadi-jadi, apalagi feasibility study (FS) atau studi kelayakan
yang dilakukan oleh para ilmuwan Universitas Udayana Bali jelas-jelas menyatakan proyek reklamasi
tersebut tidak layak. Setelah FS keluar, Gubernur Bali I Made Mangku Pastika yang sedari awal
sudah terbukti mencoba segala cara untuk memuluskan proyek ini pun terpaksa menyatakan reklamasi
tidak akan dilakukan. Namun anehnya, hingga detik ini ia bersikukuh tidak mau mencabut SK
Reklamasi yang ia terbitkan.
Selain berbuah manis, perlawanan kami juga memiliki sisi pahitnya. Kami mulai diintimidasi dan
dibenturkan dengan ormas-ormas berbadan kekar yang memang sedang marak dan menjamur di Bali.
Setiap aksi demonstrasi maupun konser kami selalu didatangi orang-orang kekar. Mereka mencoba
memprovokasi agar kami panas hingga mereka punya alasan untuk melakukan apa yang sudah mereka
rencanakan. Untung saja tak sekalipun kami terpancing.
Saya pribadi mulai diteror, bisnis saya Twice Bar di Gang Poppies 2 mulai didatangi orang-orang
'aneh' berperawakan mirip tentara. Mereka mencoba mengais-ngais informasi tentang di mana
alamat rumah saya dan hal-hal semacam itu. Sedikit cerita. Tahun 2001, kawan baik saya di Canggu
pernah memimpin penduduk desa untuk melawan investor yang hendak mengeksploitasi alam desanya.
Dengan tuduhan (yang tidak pernah terbukti) terlibat bom Bali 1, kawan saya akhirnya dijebak dan
seluruh keluarganya dipenjara. Investor yang dia lawan saat itu adalah investor yang ada dibalik
proyek reklamasi saat ini. Insting saya mengatakan mungkin ada skenario untuk menjebak saya agar
saya tak bisa lagi melawan.
Lalu ada satu kejadian ganjil di Malang saat SID konser di sana. Ini tepat sehari sebelum hasil FS
diumumkan ke publik. Saat kami selesai manggung, bus kami meluncur menuju hotel, beriringan
dengan bus St.Loco yang ada di depan kami. Saat tiba di lobby hotel, saya mendengar teriakan
kesakitan yang berasal dari Beery, vokalis St.Loco. Ternyata dia disiram air keras oleh orang tak
dikenal. Si penyiram langsung kabur entah kemana. Dari beberapa saksi yang sempat melihat si
pelaku, terkumpul informasi bahwa sebelum melancarkan aksinya si penyiram sempat bertanya kepada
staff hotel "Benar di sini hotelnya SID?" Dari fakta-fakta tersebut silakan anda simpulkan sendiri,
apa sebenarnya motif penyiraman air keras tersebut.
Atas saran kawan-kawan, saya cooling down sebentar. Tapi perlawanan tetap berjalan. Diskusi dan
konser bertema Bali Tolak Reklamasi terus digelar, perlawanan dan edukasi via social-media juga
semakin digencarkan. Drama reklamasi ini seolah membawa kami kembali hidup di era 1965. Jika dulu
para intelektual kiri yang dicap komunis diadu dan dihabisi oleh para tameng yang didukung RPKAD,
kini penguasa di Bali mengadu kaum intelektual progresif dengan ormas berbasis kekerasan. Perang
saudara ada di depan mata. Mungkin bagi mereka, para penguasa dan pemodal, tak apalah ada
sedikit darah asal pembangunan proyek reklamasi ini jadi.
Jika penguasa mencoba memenangkan perang ini dengan bermain di ranah manipulasi media, intimidasi
dan kekerasan, maka kami melawan dengan cara yang lebih tampan. Dengan dana pribadi, kami
ForBALI terbang ke Jakarta dan menyusun agenda demonstrasi di depan Istana Presiden dan
mengadakan diskusi serta panggung musik bertema Selamatkan Pesisir Indonesia di kampus Moestopo.
Kedua acara berjalan dengan sangat sukses dan dihadiri ratusan orang. Dari atas mobil pick-up, saya
bersama kawan-kawan musisi Bali (Navicula, The Hydrant, The Bullhead, Made Mawut) sempat
menyanyikan mars Bali Tolak Reklamasi di depan Istana Presiden. Saat kami di Jakarta, sebenarnya
kondisi Jakarta sedang berduka akibat banjir yang melanda. Tapi apa boleh buat, tekad kami sudah
bulat, aspirasi harus tetap kami sampaikan. Pesan saya buat Jakarta, tolong segera cari solusi besar
agar Jakarta tak banjir lagi, jadi kami yang di daerah dan dijajah pusat bisa sering-sering demo ke
Jakarta. Haha. Bercanda mas.
Selepas aksi kami di Jakarta, denyut gerakan Bali Tolak Reklamasi kian menjadi-jadi. Beberapa desa
di Bali Selatan mulai berani terang-terangan menyatakan penolakannya. Mereka memasang spanduk-
spanduk penolakan dan turun ke jalan berdemo di depan kantor Gubernur Bali. Tapi bukan Indonesia
namanya jika penguasa menyikapi aspirasi rakyatnya dengan cara-cara ksatria. Kali ini cara
menyikapinya sungguh “jenius” yaitu menangkap beberapa warga desa yang terlibat demo dengan
tuduhan mengancam keselamatan Gubernur. Gila. Sudah dilindungi polisi, ormas kekar, dukun sakti
dan lain-lain, Gubernur kami masih merasa sedemikian terancamnya. Bagi kami, penangkapan
tersebut hanyalah indikasi ketakutan penguasa terhadap gerakan tolak reklamasi ini. Warga
ditangkap untuk menakut-nakuti desa lain agar tidak ikut menolak reklamasi. Yup, rupanya orde
baru masih belum enyah dari Indonesia.
Penangkapan empat warga Desa Sidakarya juga tidak berhasil menyurutkan gerakan Bali Tolak
Reklamasi. Berbagai konser solidaritas untuk keempat warga yang ditangkap pun diadakan. SID,
Nosstress, Nymphea, Patrick And The Bastard, Mr Botax dan beberapa band lain turut mendukung
panggung-panggung solidaritas tersebut. Desa Sidakarya bahkan makin kompak dan solid dengan
penolakannya.
Perlahan, aksi-aksi solidaritas tersebut membuahkan hasil. Berbagai organisasi lokal, nasional (Komnas
HAM, Kontras dll) serta internasional (Greenpeace) mengirimkan surat keberatan mereka atas
penahanan tanpa bukti kuat keempat warga tersebut. Kamis 28/03/2014 akhirnya keempat warga
Desa Sidakarya ditangguhkan penahanannya serta dibebaskan oleh Polda Bali. SID dan ForBALI
langsung menemui mereka di desanya. Jangan sampai mereka merasa perjuangan mereka tidak ada
artinya, karena sejatinya ini hanyalah awal dari sebuah kemenangan untuk rakyat dan alam Bali yang
puluhan tahun dijajah kapital rakus dan kesewenangan kuasa. Jika nanti perlawanan kami berhasil,
kami berharap akan bermunculan lebih banyak lagi gerakan-gerakan melawan penjajahan dan
pembodohan lain yang sedang terjadi di pulau ini.
Meski banyak anak muda mendukung gerakan kami, dan gerakan ini perlahan membesar, tapi tak
sedikit juga muncul suara-suara sumbang yang menuduh kami, khususnya musisi, hanya memakai isu
Bali Tolak Reklamasi sebagai kendaraan untuk meraih popularitas. Masih banyak anak muda yang
awam akan arti sebuah perjuangan yang tulus. Tak bisa kami salahkan juga. Kami maklum, mereka
sedari kecil sudah dicekoki media mainstream yang mengajarkan mereka jika musisi yang baik adalah
musisi yang tak boleh memiliki opini apapun selain opini musik dan opini tentang sosialita tolol yang
hendak mereka tiduri. Seketika kami, para musisi yang menolak tunduk terhadap penjajahan dan
pembodohan, terlihat aneh di mata mereka para pelahap musik dan media mainstream. Namun suara-
suara sumbang tersebut tak berhasil memadamkan api kami untuk terus melawan. Apa gunanya kami
bernyanyi tentang perubahan dan perlawanan jika itu hanya sebatas di mulut saja? Ini adalah bentuk
pertanggungjawaban moral kami terhadap lirik-lirik yang kami tulis. Dan kami tidak takut.
Kalian dengar itu. KAMI TIDAK TAKUT!
JRX
(Untuk info lengkap tentang gerakan Bali Tolak Reklamasi, kunjungi www.forbali.org dan follow
@forbali13. Dukung gerakan Bali Tolak Reklamasi!

Tulisan ini dicetak dalam kolom National Affairs majalah Rolling Stone Indonesia edisi Mei 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar